Sejarah singkat tentang Barli
KINI, di Bandung ada banyak bangunan-bangunan peninggalan zaman Belanda yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya, agar tidak dirusak oleh masyarakat. Tapi, jika masyarakat ingin mengetahui apa dan bagaimana aktivitas orang-orang Belanda di Kota Bandung ketika itu, di museum mana kita bisa mendapatkan data-data tentang itu semua? DALAM bidang seni rupa misalnya, ada banyak kalangan kritikus seni rupa yang mengatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan seni rupa modern di Indonesia dimulai dari Bandung. Tapi soalnya kemudian, adakah di Bandung sebuah museum seni rupa yang bisa menjelaskan semua itu dengan tuntas? Pertanyaan semacam itu sangat mudah dijawab bahwa di Bandung ada Selasar Sunaryo Art Space, yang memamerkan karya-karya seni rupa kontemporer dari pelukis Sunaryo dan Museum Barli yang memamerkan karya-karya lukisan dari pelukis Barli Sasmitawinata, itu semua dibangun secara swadaya alias dari kocek para senimannya. Demikian juga dengan adanya Serambi AD Pirous yang memamerkan karya-karya pelukis AD Pirous dan istrinya, Erna Pirous, serta Studio Lukis Jeihan yang memamerkan karya-karya pelukis Jeihan Sukmantoro. Termasuk, Sanggar Luhur milik almarhum pelukis Sudjana Kerton.
Barli Sasmitawinata
Maestro Seni Lukis Realistik Indonesia
Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realistik. Pria yang lahir di Bandung 18 Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935, Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung.
Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realistik. Pria yang lahir di Bandung 18 Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935, Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung.
Barli lalu banyak belajar melukis alam benda dan dia adalah satu-satunya murid pribumi di studio tersebut. Di studio itu Barli banyak belajar mengenal persyaratan melukis.
Barli dilatih secara intensif melihat objek karena realistik masih sangat populer ketika itu. Pluimentz sang guru, pun selalu berkata, cara melihat seniman dan orang biasa harus berbeda.
Orang biasa tidak mampu melihat aspek artistik sesuatu benda sebagaimana seniman.
Barli di kemudian hari belajar kepada Luigi Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini pula Barli mulai berkenalan dengan Affandi, yang waktu itu masih mencari uang dengan menjadi model bagi Luigi. Di studio milik Luigi Nobilo itu diam-diam Affandi ikut belajar melukis.
Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, Barli Sasmitawinata membentuk “Kelompok Lima Bandung”. Kelompok itu dibentuk berawal dari kekaguman yang sangat dari seorang Barli dan ketiga temannya terhadap Affandi. Hubungan di antara kelima anggota kelompok akhirnya terbentuk menjadi seperti saudara saja. Kalau melukis kemana-mana selalu bersama-sama. Termasuk kesempatan perjalanan Barli hingga ke Bali.
Barli di tahun 1948 pernah mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Lalu, sepulang dari Eropa, di tahun 1958 Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sekarang Barli memiliki Bale Seni Barli di Padalarang. Barli menyebutkan sebuah cita-cita yakni ingin punya murid yang tidak saja pandai menggambar tetapi bisa hidup bersama dengan yang lain.
Barli adalah pelukis sekaligus guru. Sudah banyak mahasiswa yang dia ajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun murid yang dia bimbing di sanggar seni miliknya, tumbuh menjadi seniman mandiri. Beberapa di antara mantan mahasiswa dan murid itu terkadang ada yang mengabaikan Barli sebagai guru. Namun, yang membanggakan hati dia, tokoh semacam AD Pirous tetap mengakui Barli sebagai salah seorang guru.
Selain AD Pirous, ada pula beberapa muridnya yang kini dikenang sebagai pelukis yang berkarakter, seperti (almarhum) Huang Fong. Atau, Chusin Setiadikara yang tetap memelihara bekal seni realistiknya tetapi menempuh jalan sulit untuk membuatnya menjadi seni yang terus bisa bermakna di tengah percaturan berbagai gaya dan kecenderungan seni yang baru.
Perjalanan karir lukis Barli dimulai sejak tahun 1930-an sebagai ilustrator terkenal di Balai Pustaka, Jakarta. Dia juga dipakai sebagai ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut di tahun 1950-an saat dia sudah melangglang buana ke mancanegara. Yakni, ketika Barli diangkat menjadi ilustrator pada majalah De Moderne Boekhandel di Amsterdam, dan majalah Der Lichtenbogen di Recklinghausen, Jerman. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian dia berkesempatan belajar ke Perancis dan Belanda.
Kesempatan Barli studi sekaligus berkiprah di benua Eropa berawal di tahun 1950 tatklala dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis. Barli masih meneruskan studi di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, sampai tahun 1956. Karena kiprah kepelukisannya yang sedemikian panjang, kritikus seni Jim Supangkat dalam bukunya “Titik Sambung” menempatkan Barli Sasmitawinata sebagai ’titik sambung’ dua gugus perkembangan seni lukis Indonesia: seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia.
Dijelaskan oleh Jim, di satu sisi Barli dapat dilihat sebagai meneruskan perkembangan seni lukis masa kolonial. Tetapi di sisi lain Barli merupakan bagian dari pertumbuhan seni lukis modern Indonesia yang menentang seni lukis masa kolonial itu sendiri.
Pemerintah RI tampak sangat peduli atas perjalanan karir maestro seni lukis realistik Indonesia ini. Bertepatan dengan hari lahirnya pada 18 Maret 2004 beberapa karya lukisnya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Termasuk dipamerkan sebuah lukisan yang Barli selesaikan hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya ke-83, berukuran lebih dari dua meter kali dua meter. Pembukaan pameran dilakukan langsung oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, berlangsung sejak 18 hingga 31 Maret 2004.
Bahkan, PT Pos Indonesia turut menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada seniman besar kelahiran Bandung itu. Pos Indonesia khusus menerbitkan prangko yang bergambar reproduksi lukisan Potret Diri, sebuah lukisan terkenal yang Barli buat di tahun 1974.
Bersamaan perayaan ulang tahun ke-83 itu diluncurkan pula sebuah buku karangan Nakisbandiah, istri kedua Barli setelah istri pertama meninggal dunia 11 Juli 1991, berjudul “Kehidupanku Bersama Barli”. Barli pertamakali menikahi (almarhumah) Atikah Basari di Pager Ageung tahun 1946 pada saat masih berada di dalam pengungsian karena perang.
Pernikahan pertama itu dikaruniai dua orang anak bernama Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi. Barli lalu kembali menikah saat usia sudah 71 tahun, kali itu dengan Nakisbandiah yang masih tetap setia mendampingi hidupnya. Hasil pernikahan Nakisbandiah sebelumnya dengan (almarhum) D Mawardi dikaruniai empat orang putri, yaitu Kartini, Sartika, Mia Meutia (meninggal tahun 1977), dan Indira. Maka, secara keseluruhan keluarga Barli memiliki 15 cucu dan enam orang buyut.
Barli berperan cukup besar menularkan ilmu kepada murid-muridnya. Entah di kampusnya mengajar ITB Bandung maupun di sanggar seninya. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian belajar seni lukis ke Perancis hingga Belanda.
Di Eropa Barli memperoleh banyak prinsip-prinsip melukis anatomi secara intensif. Pelajaran anatomi, untuk pelukis sangat melihat otot-otot yang ada di luar bukan otot yang di dalam. Pernah, selama dua tahun di Eropa Barli setiap dua jam dalam sehari hanya menggambar nude (orang telanjang) saja, sesuatu yang tidak pernah dipersoalkan pantas atau tidak di sana sebab jika untuk kepentingan akademis hal itu dianggap biasa.
Barli menyebutkan, seseorang lulusan dari akademis menggambar orang seharusnya pasti bisa sebab penguasaan teknis akan merangsang inspirasi. Dia mencontohkan pengalaman saat belajar naik sepeda sulit sekali sebab salah sedikit saja pasti jatuh. Namun saat sudah menguasai teknis bersepeda sesorang bisa terus mengayuh sambil pikiran bisa kemana-mana. Melukis pun demikian, jika sudah mengetahui teknisnya maka adalah pikiran dan perasaan pelukis yang jalan.
Walau pelukis realistik Barli mengaku cukup mengerti abstrak sebab menurutnya seni memang abstrak. Seni adalah nilai. Setiap kali melihat karya yang realistik Barli justru tertarik pada segi-segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi yang abstrak yang tidak bisa dijelaskan oleh pelukisnya sendiri.
Barli menyebutkan pula, pelukis yang menggambar realistik sesungguhnya sedang melukiskan meaning. Dicontohkannya lagi, kalau melihat seorang kakek maka dia akan tertarik pada umurnya, kemanusiaannya. Sehingga pastilah dia akan melukiskannya secara realistik sebab soal umur tidak bisa dilukiskan dengan abstrak. Menggambarkan penderitaan manusia lebih bisa dilukiskan dengan cara realistik daripada secara abstrak.
Guru dan Pelukis itu Telah Pergi
Barli Sasmitawinata (86), pelukis dan guru yang berperan penting dalam perkembangan seni rupa Indonesia, telah pergi. Seniman ini meninggal di Rumah Sakit Advent Bandung, Kamis 8 Februari 2007 sekitar pukul 16.30.
Barli Sasmitawinata (86), pelukis dan guru yang berperan penting dalam perkembangan seni rupa Indonesia, telah pergi. Seniman ini meninggal di Rumah Sakit Advent Bandung, Kamis 8 Februari 2007 sekitar pukul 16.30.
"Bapak masuk rumah sakit, Kamis sekitar pukul 08.00, karena sesak napas dan batuk, tapi dahaknya tidak bisa keluar. Sempat ditransfusi darah, tapi Bapak kemudian meninggal," kata istri Barli, Nakisbandiah (66), saat dihubungi dari Jakarta, Kamis sore.
Kesehatan Barli memburuk setengah bulan terakhir. Ia sempat masuk Rumah Sakit Advent Bandung, 8 Januari 2007, akibat gangguan pernapasan, ginjal, dan gula darah naik. Setelah menjalani enam kali cuci darah, kondisinya sempat membaik dan diperbolehkan pulang. Namun, Kamis kemarin, ia kembali masuk rumah sakit.
Jenazah disemayamkan di rumah dan museum Barli di Jalan Sutami 91, Setrasari, Karangsetra, Kota Bandung. Pemakaman direncanakan Jumat ini. Barli meninggalkan 2 anak kandung, 3 anak tiri, 15 cucu, dan 9 buyut. Setelah istri pertamanya, Atikah Basari, meninggal tahun 1991, Barli menikah lagi dengan Nakisbandiyah tahun 1992.
"Hingga beberapa hari menjelang sakit parah, Bapak tetap melukis dan mengajar. Bahkan, saat di rumah sakit, Bapak masih sempat membuat sketsa orang tidur," kata anak kedua Barli, Chandra Dewi Rahmadi (57). Barli adalah sosok penting dalam sejarah dan perkembangan seni rupa di Indonesia. Ia dikenal sebagai guru dengan ilmu gambar (drawing) yang mumpuni, pelukis realis yang andal, serta bergabung bersama pelukis perjuangan semasa kemerdekaan. Hingga akhir hayatnya, ia konsisten menekuni pilihannya di tengah perubahan zaman.
Sebagai guru, Barli punya bekal dasar ilmu gambar akademis yang kuat. Maklum saja, ia belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis, tahun 1950, kemudian di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, sampai tahun 1956.
Seni realistik
Menurut kritikus seni rupa Jim Supangkat, Barli menduduki posisi dalam seni realistik sebagai basis perkembangan seni rupa di Indonesia. Barli melukis wajah-wajah rakyat secara wajar, apa adanya. Itu memberikan citra berbeda di tengah lukisan karya pelukis Belanda yang menggambarkan wajah pribumi dengan jelek. Itu juga lain dengan lukisan Basuki Abdullah, yang terlanjur berhadapan dengan lukisan realis yang lebih mengekspresikan "jiwa kethok", sebagaimana disuarakan pelukis Soedjojono.
Menurut kritikus seni rupa Jim Supangkat, Barli menduduki posisi dalam seni realistik sebagai basis perkembangan seni rupa di Indonesia. Barli melukis wajah-wajah rakyat secara wajar, apa adanya. Itu memberikan citra berbeda di tengah lukisan karya pelukis Belanda yang menggambarkan wajah pribumi dengan jelek. Itu juga lain dengan lukisan Basuki Abdullah, yang terlanjur berhadapan dengan lukisan realis yang lebih mengekspresikan "jiwa kethok", sebagaimana disuarakan pelukis Soedjojono.
"Karyanya mungkin agak kurang populer dibandingkan dengan karya pelukis Affandi atau Hendra Gunawan. Tetapi, peran Barli dalam dunia seni rupa sangat penting. Dia berada pada 'titik sambung' antara seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia. Kalau mau mencari dasar lukisan realistik, ya ke Barli," katanya.
Enin Supriyanto, pengamat seni rupa yang pernah belajar melukis pada Barli, mengungkapkan, Barli memahami detail peralatan dan media lukis, seperti pena, tinta, cat air, crayon, dan cat minyak. Ia pun menguasai ilmu-ilmu melukis akademis, antara lain anatomi tubuh manusia, warna, garis, komposisi, atau perpektif.
"Soal anatomi tubuh, Barli bahkan hapal sampai istilah Latin-nya," kata Enin.
Kemampuan itu berusaha ditularkan Barli kepada murid-muridnya dengan disiplin dan sistem. Setiap murid diminta mengenali karakter alat dan belajar bertahap. Bagi Barli, pelukis harus menguasai ilmu menggambar dengan benar. Sepulang dari Eropa, tahun 1958, Barli mendirikan Sanggar Rangga Gempol di kawasan Dago, Bandung. Barli sempat mengajar seni lukis di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ikut merintis pembentukan jurusan seni rupa di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung—sekarang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Setelah itu, Barli memilih lebih banyak mengajar murid secara informal di sanggar. Usai Sanggar Rangga Gempol eksis tahun 1960-1980-an, ia membangun studi sekaligus museumnya di Setrasari, Karangsetra, Bandung, lantas mendirikan Bale Seni Barli di Kota Baru, Padalarang, Bandung.
Keberhasilannya sebagai guru bisa dilihat dari sejumlah muridnya yang mekar menjadi pelukis kuat. Sebutlah beberapa di antaranya, Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, Yusuf Affendi, AD Pirous, Anton Huang, R Rudiyat Martadiraja, Chusin Setiadikara, Sam Bimbo, Rudi Pranajaya.
Chusin (58) termasuk salah satu murid yang berhasil mengembangkan dasar ilmu gambar menjadi karya seni yang diperhitungkan dalam peta seni kontemporer. Karyanya punya reputasi baik di dunia internasional. Pelukis yang kini tinggal di Kuta, Bali, ini pernah mengantongi penghargaan dari Beijing International Art Biennale tahun 2005.
Pengamat seni rupa asal Bandung Mamannoor mengungkapkan, Barli menjadi inspirator bagi beberapa generasi pelukis di Bandung. Barli selalu menegaskan, melukis adalah disiplin hidup yang dijalani dengan semangat dan produktif berkarya. Ia berkarya dalam banyak corak, tetapi ketekunannya pada corak realistik dipertahankan lewat pasang-surut pergeseran zaman.
Saat remaja, sekitar tahun pertengahan tahun 1930-an, Barli bergabung dalam 'Kelompok Lima' bersama Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi. Ia punya semangat nasionalis tinggi.
Komentar